PENGENDALIAN HAMA WALANG SANGIT (Leptocorisa oratorius F)
DI TINGKAT PETANI LAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN
Syaiful Asikin dan M.Thamrin
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)
ABSTRAK
Walang sangit (Leptocorisa oratorius F,Coreidae, Hemiptera) merupakan salah satu hama serangga penting padi di lahan rawa lebak. Hama ini bukan saja dapat menurunkan hasil tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti bintik-bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dari hama tersebut pada saat padi matang susu. Dari hasil observasi, diketahui ada beberapa cara pengendali hama walang sangit yang telah lama lilaksanakan oleh petani. Cara-cara tersebut berpotensi untuk dikembangkan seperti penggunaan keong yang dibusukkan sebagai perangkap, pengasapan dari bahan batu bara, tumbuhan mercon, kapur barus, penggunaan tumbuhan ribu-ribu dan cambai. Walang sangit lebih tertarik untuk datang pada keong-keong yang telah dibusukkan sehingga pengendalian mudah dilaksanakan karena terkonsentrasi pada areal yang sempit. Selain itu pengasapan dengan menggunakan daun tumbuhan mercon ataupun batubara ternyata dapat mengurangi populasi walang sangit. Sedangkan kapur barus, tumbuhan ribu-ribu dan cambai dapat menolak kedatangan walang sangit karena bau yang dipancarkan oleh bahan tersebut sehingga kerusakan padi yang disebabkan walang sangit dapat dihindari. Cara-cara pengendalian tersebut dapat mengurangi kerusakan gabah padi yang disebabkan walang sangit berkisar 15-20%.
PENDAHULUAN
Lahan rawa lebak merupakan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan karena luasnya yang cukup besar di Inonesia sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatan produksi. Luas lahan rawa lebak ditaksir sekitar 13,27 juta ha atau 40% dari luas keseluruhan rawa yang luasnya sekitar 33,43 juta ha Jawa (Anwarhan, 1989).
Pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian umumnya masih rendah dan bervariasi dari satu kawasan kekawasan lainnya. Produktivitas padi di lahan rawa lebak ini pada umumnya masih rendah, disebabkan selain tingkat kesuburan tanah yang rendah, kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, juga serangan hama dan penyakit yang merupakan salah satu faktor pembatas yang penting.
Serangan hama dan penyakit merupakan resiko yang harus dihadapi dan diperhitungkan dalam setiap usaha budidaya tanaman untuk meningkatkan produksi yang sesuai dengan harapan. Resiko ini merupakan konsekuensi dari setiap perubahan ekosistem sebagai akibat budidaya tanaman yang dilakukan, sedangkan ketidaktentuan iklim merupakan suatu hal yang harus diterima sebagai fenomena alam. Perubahan atau ketidak tentuan iklim sangat berpengaruh terhadap perkembangan hama/penyakit dan berpengaruh langsung terhadap usaha budidaya tanaman.
Salah satu hama serangga penting di lahan lebak adalah walang sangit (Leptocorisa oratorius F,Coreidae, Hemiptera), dimana hama ini hampir menyerang pertanaman padi hampir disetiap musim. Hama ini menyerang pertanaman padi setelah padi berbunga. Bulir padi ditusuk dengan rostrumnya, kemudian cairan bulir tersebut diisap (Domingo et al., 1982). Akibat serangan hama ini pertumbuhan bulir padi kurang sempurna, biji/bulir tidak terisi penuh ataupun hampa sama sekali. Dengan demikian dapat mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas hasil. Adapun taktik pengendalian hama yang paling utama dilakukan petani adalah penggunaan insektisida. Akan tetapi apabila penggunaan bahan insektisida tersebut kurang bijaksana akan menimbulkan dampak negatif bagi flora maupun fauna serta lingkungan, dan disamping itu pula bahan kimia atau pestisida tersebut harganya cukup mahal. Berdasarkan konsep PHT pengguaan pestisida merupakan alternatif terakhir apabila komponen pengendali lainnya tidak mampu lagi menekan hama tersebut, maka peranan pengendali alami yang ramah lingkungan perlu dikaji.
Untuk menunjang konsep PHT tersebut dalam rangka pengurangan penggunaan bahan insektisida perlu dicari alternatif pengendalian yang bersifat ramah lingkungan antara lain penggunaan bahan bioaktif (insektisida nabati, attraktan, repelen), musuh alami (parasitoid dan predator serta patogen), serta penggunaan perangkap.
Tulisan ini menginformasikan teknik pengendalian hama walang sangit pada tingkat petani di lahan lebak Kalimantan Selatan.
Biologi
Walang sangit bertelur pada permukaan daun bagian atas padi dan rumput-rumputan lainnya secara kelompok dalam satu sampai dua baris. Telur berwarna hitam, berbentuk segi enam dan pipih. Satu kelompok telur terdiri dari 1-21 butir, lama periode telur rata-rata 5,2 hari (Siwi et al., 1981).
Nimfa berukuran lebih kecil dari dewasa dan tidak bersayap. Lama periode nimfa rata-rata 17,1 hari. Pada umumnya nimfa berwarna hijau muda dan menjadi coklat kekuning-kuningan pada bagian abdomen dan sayap coklat saat dewasa. Walaupun demikian warna walang sangit ini lebih ditentukan oleh makanan pada periode nimfa. Bagian ventral abdomen walang sangit berwarna coklat kekuning-kuningan jika dipelihara pada padi, tetapi hijau keputihan bila dipelihara pada rumput-rumputan (Goot, 1949 dalam Suharto dan Siwi, 1991).
Serangga dewasa berbentuk ramping dan berwarna coklat, berukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm dengan tungkai dan antenna yang panjang. Perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1. Setelah menjadi imago serangga ini baru dapat kawin setelah 4-6 hari, dengan masa pra peneluran 8,1 dan daur hidup walang sangit antara 32-43 hari. Lama periode bertelur rata-rata 57 hari (berkisan antara 6-108 hari, sedangkan serangga dapat hidup selama rata-rata 80 hari (antara 16-134 hari)(Siwi et al., 1981).
Gejala serangan dan Kerusakan
Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar ketiga dan seterusnya (Kalshoven, 1981).
Menurut Willis (2001), tingkat serangan dan menurunnya hasil akibat serangga dewasa lebih besar dibandingkan nimfa. Suharto dan Damardjati (1988) melaporkan bahwa 5 ekor walang sangit pada tiap 9 rumpun tanaman akan merugikan hasil sebesar 15%, sedangkan 10 ekor pada 9 rumpun tanaman akan mengurangi hasil sampai 25%. Kerusakan yang tinggi biasanya terjadi pada tanaman di lahan yang sebelumnya
banyak ditumbuhi rumput-rumputan serta pada tanaman yang berbunga paling akhir (Willis, 2001).
Pengendalian
a. Penggunaan Perangkap
Di lahan rawa lebak petani dalam mengendalikan hama khususnya walang sangit menggunaan perangkap yaitu dari bahan keong yang dibusukkan. Dengan cara pengendalian tersebut intensitas kerusakan walang sangit dapat ditekan. Hasil pengamatan dilapang menunjukkan bahwa pengendalian dengan menggunakan perangkap bau busuk (keong) tersebut cukup efektif dibandingkan pengendalian lainnya dalam mengendalikan
hama walang sangit. Adapun fungsi dari penggunakan perangkap dari bahan keong yang dibusukkan tersebut adalah untuk mengalihkan perhatian dari walang sangit tersebut karena dengan perangkap tersebut walang sangit lebih tertarik berkunjung ketempat perangkap tersebut dibandingkan pada bulir padi.
Jumlah populasi yang didapatkan pada perangkap tersebut 5-10 ekor/perangkap. Kadang-kadang petani juga menaruh bahan racun dari karbofuran 5-10 butir/tempat, sehingga walang sangit yang datang berkunjung dan mengisap bahan tersebut dan mati.
Pengandalian hama walang sangit dengan cara perangkap busuk tersebut yang dipasang ditepi-tepi sawah dengan jarak antar perangkap 10-15 m tersebut cukup efektif memerangkap walang sangit. Walang sangit bergerombol datang pada perangkap bau busuk tersebut untuk makan dan mengisap cairannya. Walang sangit lebih tertarik kepada bau-bauan tersebut dibandingkan makan pada padi yang sedang berbunga sampai matang susu. Menurut Sunjaya (1970), banyak diantara jenis-jenis serangga tertarik oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman yaitu bunga, buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada perangkan bau busuk tersebut.
Dengan demikian intensitas kerusakan bulir/biji padi dapat dihindari dengan cara perangkap bau tersebut. Dilihat dari lingkungan tidak mempengaruhi terutama keberadaan musuh alami (predator dan parasitoid) di lahan lebak tersebut. Dari hasil pengamatan terhadap musuh alami populasi predator jenis laba-laba, kumbang karabit dan belalang minyak dan jenis parasitoid lainnya populasi cukup tinggi (Tabel 2).
Dan ada pula cara lain yaitu dengan menggunakan obor dan asap tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena cara tersebut selain dapat menarik walang sangit tetapi juga dapat menarik serangga-serangga lain terutama jenis musuh alaminya ikut terbunuh. Adapun cara perangkap bau busuk tersebut bukan mematikan hama walang sangit tetapi hanya mengalihkan perhatian sehingga dapat menghindari serangan hama tersebut pada padi.
Tabel 1. Cara pengendalian walang sangit ditingkat petani lahan lebak Alabio pada MT. 2002/2003.
Taktik pengandalian dengan menggunaan asap sudah seringkali dilakukan oleh petani rawa lebak maupun tadah hujan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi dengan mengganti bahan pengasapan tersebut dengan menggunaan bahan galian batubara menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, karena bahan galian batubara tersebut kalau dibakar dapat bertahan lama dan menimbulkan bau yang menusuk sehingga dapat mempengaruhi aktivitas dari hama walang sangit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan asap dari bahan galian batubara intensitas kerusakan oleh walang sangit dapat ditekan. Hal ini diduga bahwa bau asap dari bahan galian batu bara tersebut dapat mengusir hama walang sangit, karena pada lokasi pertanaman padi yang tidak melakukan pengendalian dengan cara pengasapan (bahan batubara) intensitas kerusakan cukup tinggi (Tabel 3). Selain di lahan rawa lebak pengendalian cara tersebut dilakukan juga oleh petani rawa pasang surut dan hasilnya cukup baik, dan disamping itu pula penggunaan insektisida dapat ditekan.
Selain pengasapan dengan menggunakan bahan batu bara juga petani menggunakan bahan tanaman dari tumbuhan cambai dan tumbuhan mercon dalam mengendalikan hama walang sangit. Dengan menggunakan bahan tumbuhan tersebut intensitan kerusakan oleh walang sangit dapat ditekan. Menurut Asikin dan Thamrin (2003), melaporkan bahwa tumbuhan cabai dan mercon tersebut berpotensi sebagai insektisida nabati bahan persentase tingkat kematian larva ulat jengkal melebihi dari kontrol insektisida nabati dari tumbuhan Mimba yaitu tumbuhan galam, mercon, sungkai, kedondong, kumandrah dan cabai yaitu berkisar antara 70 – 80 %.
c. Penggunaan Kapur Barus
Adapun taktik lain yang sering digunakan petani dalam mengendalikan walang sangit adalah dengan menggunakan kapur barus. Cara ini juga cukup efektif dalam mengendalikan hama walang sangit. Aplikasi taktik pengendalian ini dilakukan pada saat fase vegetatif atau saat padi bunting sampai bulir-bulir padi mulai mengeras yaitu dengan cara menggantungkan kapur barus tersebut yang sudah dimasukkan kedalam pembungkus dari kain bekas. Taktik pengendalian dengan menggunakan kapur barus ini bersifat menolak atau mengusir datangnya hama walang sangit karena bau yang dipancarkan oleh zat yang terkandung dalam kamapar tersebut. Jarak antar kantong tersebut berkisar antara 4-5 meter pada bagian pinggir tanaman padi. Dengan cara ini intensitas kerusakan oleh walang sangit dapat ditekan yaitu berkisar antara 5-10%.
d. Penggunaan tumbuhan ribu-ribu Pengendalian hama pada saat fase generatif yaitu serangan hama penggerek batang (beluk), walang sangit dan hama lainnya, yaitu menggunakan tumbuhan liar ribu-ribu yang aplikasinya dengan cara menaburkan daun ribu-ribu tersebut pada lahan pertanaman padi pada saat fase bunting. Melalui cara tersebut hama penggerek batang dan khususnya walang sangit dapat dihindari, karena pengaruh bau yang ditimbulkan dari daun gulma ribu-ribu yang terendam air tersebut mengeluarkan bau yang dapat mempengaruhi dari kunjungan hama-hama tersebut. Dengan demikian gulma atau tumbuhan liar tersebut mempunyai daya penolak terhadap hama pengrerek dan walang sangit.
KESIMPULAN
Cara-cara pengendalian hama walang sangit seperti penggunaan keong yang dibusukkan sebagai perangkap, pengasapan dari bahan batu bara, tumbuhan mercon, kapur barus, penggunaan tumbuhan ribu-ribu dan cambai berpotensi untuk dikembangkan. Walang sangit lebih tertarik untuk datang pada keong-keong yang telah dibusukkan sehingga pengendalian mudah dilaksanakan karena terkonsentrasi pada areal yang sempait. Selain itu pengasapan dengan menggunakan daun tumbuhan mercon ataupun batubara ternyata dapat mengurangi populasi walang sangit. Sedangkan kapur barus, tumbuhan ribu-ribu dan cambai dapat menolak kedatangan walang sangit karena bau yang dipancarkan oleh bahan tersebut sehingga kerusakan padi yang disebabkan walang sangit dapat dihindari. Cara-cara pengendalian tersebut dapat mengurangi kerusakan gabah padi yang disebabkan walang sangit berkisar 15-20%.
DAFTAR PUSTAKA
Domingo, I.T., E.A. Heinrichs and F.G. Medrano. 1982. Life history of rice bug Leptocorisa oratorius F. IRRN No.6. IRRI, Los Banos, Philippines. Kalshoven, L.G.E. and P.A. van der Laan. 1981. The pest of crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta. Willis, M. 2001. Hama dan Penyakit Utama Padi di Lahan Pasang Surut. Monograf. Badan Litbang Pertanian. Balittra. Banjarbaru. Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian. IPB. Bogor. Siwi, S.S., A. Yassin and Dandi Sukarna. 1981. Slender rice bugs and its ecology and economic threshold. Syiposium on Pest Ecology snd Pest Management, Bogor Nov 30-Dec 2 1981. Suharto, H. dan D.S.Damardjati. 1988. Pengaruh waktu serangan walang sangit terhadap hasil dan mutu hasil padi IR 36. Reflektor 1(2) : p 25-28.
0 komentar: on "Pengendalian Hama Walang Sangit di Kalimantan Selatan"
Posting Komentar